Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal Buku : 551 halaman
Waktu Terbit : September 2016 (Cetakan 24)
Roman yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ini mengisahkan tentang suatu bentuk
diskriminasi yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap penduduk pribumi.
Berlatarkan suasana saat Indonesia (dulu Hindia Belanda) dijajah oleh bangsa
Belanda, roman ini mampu mengantarkan pembaca untuk dapat berimajinasi atau
benar-benar dapat merasa tengah berada di zaman itu ketika membacanya. Tidak
hanya terfokus pada satu masalah saja, di dalam roman ini, Pram banyak
menceritakan berbagai macam masalah pelik yang dihadapi oleh kaum pribumi di
era penjajahan Belanda pada akhir abad ke-19. Lika-liku kehidupan di bumi
manusia yang begitu kompleks mampu diceritakan oleh Pram dengan cukup detail sehingga tidak terlalu menyulitkan pembaca untuk dapat memahami makna atau
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, termasuk bagi pembaca yang belum
terbiasa dengan bacaan berat.
Bermula dari
ajakan Robert Suurhof, teman Minke di H.B.S., untuk datang ke tempat tinggal
seorang gundik bernama Sanikem (yang kemudian dikenal dengan panggilan Nyai
Ontosoroh oleh orang-orang) di Boerderij
Buitenzorg yang terletak di Wonokromo, Kota Surabaya, Minke bertemu dengan
Annelies Mellema, putri dari gundik tersebut. Robert Suurhof dan Minke dapat
sampai ke tempat itu tak lain karena Robert Suurhof merupakan teman akrab dari
Robert Mellema, kakak kandung Annelies Mellema. Tujuan Suurhof mengajak Minke
juga karena ingin menunjukkan bahwa di kediaman seroang Nyai tersebut ada
seorang gadis jelita, yang kecantikannya melebihi Sri Ratu Wilhelmina, Ratu
Belanda yang dikagumi dan dipuja-puja oleh Minke karena parasnya yang begitu
rupawan. Sejak pertemuan pertama itulah Minke dan Annelies saling jatuh cinta.
Hal itu membuat Robert Suurhof cemburu karena ia sebenarnya telah lebih dulu
menyukai Annelies, namun Annelies tampaknya sama sekali tidak menaruh perhatian
padanya. Akibat kecemburuannya itu, Robert Suurhof menjadi seseorang yang
berusaha menjatuhkan harga diri Minke di kemudian hari.
Minke adalah
seorang Pribumi, ia keturunan Jawa. Ayahnya seorang bupati di Kota B (begitulah
nama kota disebut dalam roman ini), maka dari itu Minke dapat mengenyam
pendidikan di H.B.S. Surabaya. Kesempatan untuk bisa sekolah dimanfaatkan Minke
untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Ia begitu mengagumi
segala hal tentang Eropa. Suatu hari, Minke diberi tugas untuk menerjemahkan
pidato Ayahnya ke dalam bahasa Belanda di acara resepsi pengangkatan Ayahnya
sebagai seorang bupati. Banyak yang mengagumi kehebatan Minke tersebut, salah
satunya Tuan Asisten Residen B, Herbert de la Croix. Tuan Asisten Residen
mengundang Minke untuk berkunjung ke kediamannya. Di sana, Minke bertemu dengan
dua orang putri dari Tuan Asisten Residen, Miriam de la Croix dan Sarah de la
Croix. Dua perempuan itu juga merupakan siswa H.B.S., mereka adalah senior
Minke. Miriam dan Sarah menghujani banyak pertanyaan, Minke berusaha menjawab
sesuai dengan pengetahuannya. Selanjutnya, Miriam dan Sarah membangun hubungan
baik dengan Minke. Mereka bersahabat dan saling mengirim surat.
Dalam
perjalanan dari B ke Surabaya, Minke ternyata dibuntuti oleh orang asing
berperawakan gendut. Tiba di stasiun, Minke telah dijemput oleh Annelies dan
Darsam. Di tengah perjalanan ke Wonokromo, Darsam menjelaskan bahwa Robert
Mellema telah memerintahkan ia untuk membunuh Minke dengan dugaan Robert
cemburu atas sikap Mama (Nyai Ontosoroh) yang lebih menyayangi Minke daripada
Robert, anaknya sendiri. Untuk itu, Darsam tidak langsung menuju ke Wonokromo,
namun mengantarkan Minke ke pondokannya di Kranggan. Annelies dan Mama tidak
diberitahu masalah ancaman pembunuhan itu sehingga Minke beralasan bahwa ia
harus fokus dalam menyiapkan pelajaran. Ketidakhadiran Minke di Wonokromo
ternyata membuat Annelies jatuh sakit. Hal itu membuat Minke segera bergegas
menuju tempat tinggal Mama meski diliputi perasaan was-was akan ancaman
pembunuhan. Dokter pribadi keluarga Mellema, Dokter Martinet, mengatakan bahwa
yang dapat menyembuhkan Annelies adalah Minke. Dengan kehadiran Minke, tentu
Annelies dapat pulih kembali dan mampu membantu Mama mengurus perusahaan lagi.
Annelies adalah seorang gadis yang dapat diandalkan dalam urusan pekerjaan,
meski usianya masih belia. Sifat pekerja keras seperti itu tentu telah
diajarkan oleh Mama.
Beberapa hari
tinggal di rumah Mama, Minke merasa lega karena ia sama sekali tidak melihat
keberadaan Robert Mellema di sana. Rupanya, Robert Mellema telah teracuni oleh
dunia plesiran milik Babah Ah Tjong, tetangganya. Ia menghabiskan waktu untuk
bersenang-senang dengan perempuan sewaan di tempat plesiran itu. Tempat itu
pula yang menjadikan suami Mama, Herman Mellema, berubah sikapnya menjadi
seperti orang gila. Suatu ketika, si Gendut yang pernah membuntuti Minke
menampakkan dirinya di sekitar tempat tinggal Mama. Darsam dan Minke berusaha
mengejarnya hingga tiba di rumah plesiran Babah Ah Tjong. Mama dan Annelies
ikut mengejar. Mama melarang mereka masuk ke rumah plesiran itu, namun tak
digubris. Hingga pada akhirnya, mereka menemukan mayat Herman Mellema
tergeletak di sana. Polisi datang untuk mengurus mayat itu. Herman Mellema mati
keracunan. Kasus itu dibawa ke pengadilan. Banyak peristiwa tidak mengenakkan
menimpa Minke dan Mama selama proses di persidangan berlangsung, bahkan harga
diri mereka seperti telah dijatuhkan. Namun, pada akhirnya Babah Ah Tjong
mengaku telah bersalah atas kematian Herman Mellema.
Minke sempat
dikeluarkan dari H.B.S. karena jalannya persidangan pada kasus kematian Herman
Mellema telah banyak menguak aibnya. Minke merasa bahwa seluruh yang ada di
H.B.S. telah memusuhinya, kecuali Magda Peters, satu-satunya guru yang ada di
pihak Minke. Dalam keadaan terpuruk seperti itu, Minke datang ke tempat Jean
Marais, seorang sahabat yang bijaksana. Jean memberikan banyak petuah yang
dapat membangkitkan semangat Minke. Sebagai seorang yang gemar menulis, Minke
akhirnya membuat tulisan tentang masalah Totok, Indo, dan Pribumi dengan nama
pena Max Tollenaar. Tulisan itu rupanya membuat Tuan Direktur H.B.S. menerima
kembali Minke sebagai siswa di sekolahnya. Minke mengikuti ujian kelulusan
dengan sangat baik, bahkan ia meraih peringkat nomor dua se-Hindia Belanda.
Peringkat pertama adalah siswa dari H.B.S. Batavia, yang berarti Minke
merupakan peraih peringkat pertama di H.B.S. Surabaya. Untuk merayakan
kelulusan para siswa, sekolah mengadakan pesta. Dalam pesta tersebut Minke
mengajak Annelies untuk turut hadir menemaninya. Di pesta kelulusan itu pula,
Minke mengumumkan bahwa ia akan segera menikah dengan Annelies, seluruh yang
ada di H.B.S. diundang untuk meramaikan pernikahan mereka.
Pesta
pernikahan Annelies dengan Minke dirayakan dengan begitu meriah. Mama memang
akan melakukan segalanya di hari bahagia anaknya itu. Ia ingin semua turut
berbahagia melihat putri kesayangannya menikah dengan lelaki yang begitu
dicintai. Para pekerja di perusahaan diliburkan, sedang yang tak dapat libur
akan diberi upah berkali lipat dari hari-hari biasa. Satu-satunya keluarga
Minke yang hadir di pernikahan tersebut hanya Bunda. Bunda tampak sangat senang
memiliki menantu secantik Annelies.
Kebahagiaan
yang Minke dan Annelies rasakan bersama tidak berlangsung lama. Minke adalah
seorang Pribumi, sedangkan Annelies seorang Indo. Perbedaan itu menyebabkan timbulnya
masalah terhadap kisah cinta mereka. Annelies diakui hak asuhnya oleh istri sah
Herman Mellema di Belanda karena Nyai Ontosoroh hanya seorang gundik yang
dianggap tidak memiliki ikatan perkawinan sah dengan Herman Mellema dan tidak
memiliki hak asuh atas anak-anak Herman Mellema. Kekayaan perusahaan yang telah
dibesarkan oleh Nyai Ontosoroh juga akan direbut. Nyai Ontosoroh beserta Minke
berusaha melawan keputusan Pengadilan Putih yang memang memihak orang Belanda.
Bahkan pernikahan Annelies dan Minke dianggap tidak sah oleh Pengadilan Belanda
karena Annelies masih berada di bawah umur dan tidak ada izin dari wali yang
sah, meskipun menurut hukum Islam, pernikahan tersebut adalah sah. Beberapa
penduduk pribumi tidak terima dengan perlakuan Pengadilan Belanda tersebut
sehingga timbul perlawanan. Namun, pada akhirnya Minke dan Nyai Ontosoroh tak
mampu lagi berbuat apa-apa. Annelies yang masih sakit dipaksa untuk berangkat
ke Nederland tanpa boleh didampingi Minke maupun Nyai Ontosoroh. Bangsa Eropa
yang begitu diagung-agungkan oleh Minke ternyata berbuat begitu semena-menanya
terhadap penduduk pribumi, tanpa rasa kemanusiaan dan belas kasih.
Begitu luar
biasa Pramoedya Ananta Toer melukiskan kisah dalam roman ini. Meski roman Bumi
Manusia ini tergolong tebal, namun tidak membuat saya sebagai pembaca merasa
bosan. Rangkaian kisah dituliskan secara detail sehingga tidak membingungkan.
Setiap tokoh juga memiliki peran penting masing-masing yang tak hanya muncul
sekali/dua kali, membuat pembaca mudah dalam mengingat dan mendalami karakter
mereka. Dengan menggunakan latar waktu zaman penjajahan Belanda, pada awalnya
saya berpikir akan sulit dalam membangun imajinasi tokoh maupun cerita. Namun,
saat membaca roman ini, ternyata mampu membuat saya terhanyut dalam cerita dan
benar-benar menikmati jalannya konflik hingga terbawa emosi.
Roman Bumi
Manusia secara ukuran memang tebal, namun jangan pernah berpikir untuk tidak
dapat selesai membacanya. Sekali terhanyut dalam cerita, pembaca pasti ingin
segera mengetahui kelanjutan hingga akhir cerita. Begitu banyak hal yang dapat
dipelajari dari buku ini, salah satunya yaitu untuk selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Pramoedya Ananta Toer adalah sosok penulis yang hebat,
dapat dilihat dari karyanya ini, yang berhasil lahir saat ia dipenjara di Pulau
Buru. Pram tak pernah berhenti menulis, meski ia paham betul dengan segala
konsekuensi yang akan menimpanya. Sekali lagi, karya-karya Pram layak mendapat
apresiasi, salah satunya Bumi Manusia ini.